Oleh Ali Mubarak, Penulis adalah anggota Komisi VII FKB DPR-RI
Masalah energi alternatif kini menjadi perbincangan hangat di masyarakat. Krisis bahan bakar minyak (BBM) telah menggugah masyarakat Indonesia untuk tidak bergantung pada energi minyak bumi. Karena negeri ini memiliki berbagai energi alternatif yang cukup banyak.
Untuk gas alam, misalnya, Indonesia memiliki cadangan potensial sebesar 170-180 triliun kaki kubik (TCF). Jumlah itu diperkirakan dapat mencukupi kebutuhan energi nasional hingga 60 tahun ke depan.
Indonesia bahkan kaya batu bara dengan cadangan sekitar 50 miliar ton (3 persen dari potensi dunia). Cadangan itu diperkirakan bisa digunakan hingga 150 tahun mendatang. Cadangan sumber energi itu jauh lebih besar, ketimbang minyak bumi yang diperkirakan habis sekitar 15 tahun lagi, bila tidak ada eksplorasi baru.
Indonesia memiliki cadangan minyak bumi sekitar 9,7 miliar barel, dari jumlah itu 4,7 miliar barel merupakan cadangan terbukti. Produksi minyak mentah dan kondensat saat ini sekitar 1,075 juta barel per hari, turun dari 1,374 barel per hari.
Ada banyak alasan mengapa penggunaan BBM alternatif menjadi penting. Pertama, menurut data Pertamina, kebutuhan konsumsi BBM dalam negeri kini mencapai 1,15 juta barel per hari. Sementara itu, kemampuan produksi Indonesia hanya 950.000 barel per hari. Dengan kondisi itu, tak heran jika ketergantungan Indonesia terhadap impor BBM terus meningkat.
Kedua, makin menurunnya investasi pencarian, karena cadangan minyak bumi kian menipis dan diperkirakan habis dalam waktu 10 tahun ke depan. Ketiga, harga minyak dunia terus melambung mencapai 60-70 dolar per barel.
Untuk mengatasi hal itu, diperlukan sebuah cara berpikir yang rasional dan inovatif untuk mengatasi berbagai kesulitan tersebut. Di antaranya, pemanfaatan biodiesel dan bioetanol ke arah komersialisasi.
Berdasarkan pola pengembangan energi nasional, pemerintah sebenarnya sudah merencanakan penggunaan bioetanol dan biodiesel sekitar 2 persen dari jumlah bahan bakar nasional pada tahun 2010. Jumlah itu meningkat menjadi 5 persen pada 2025. Sekarang masalahnya adalah bagaimana mempopulerkan bahan bakar biofuel itu.
Di beberapa negara lain, untuk mendukung pemakaian biodiesel dan bioetanol, pemerintahnya mengeluarkan kebijakan pemberian insentif. Pemerintah Austria dan Australia mengeluarkan kebijakan kemudahan untuk membangun pabrik biofuel, sehingga pengusaha pun tertarik untuk membangun industri bahan bakar alternatif.
Bahkan di Swedia, harga bioetanol BE-85 (85 persen etanol dan 15 persen bensin) dipatok lebih murah 25 persen ketimbang bahan bakar konvensional.
Indonesia sendiri bisa belajar dari Brazil yang secara serius mengembangkan teknologi bahan bakar biofuel. Bahkan pabrik mobil pun sangat antusias untuk mengembangkan teknologi pendukungnya. Contohnya, Toyota mulai mengalihkan perhatiannya pada pasar mobil berbahan bakar bensin gasohol untuk Brazil.
Dalam pengembangan biofuel, Indonesia memang tertinggal dari negara-negara lain, seperti Brazil, AS, atau Thailand. Padahal, sebagai negara dengan keanekaragaman hayati kedua terbesar di dunia, sejatinya peluang pengembangan biofuel terbuka lebar.
Itu kontras dengan apa yang terjadi di Brazil. Dengan kapasitas produksi bioetanol mencapai 14,7 miliar liter pada 2005, kini negeri Samba itu merupakan produsen bioetanol terbesar di dunia. Angka produksi sebesar itu diperoleh dari penanaman tebu di lahan seluas 5,5 juta hektare dan akan meningkat sekitar dua kali lipat pada 2015.
Sementara di AS, hampir 90 persen bioetanol yang dihasilkan dari jagung dan gandum itu telah digunakan sebagai bahan bakar. Bahkan, sejak tiga tahun lalu, AS memproduksi mobil Flexi Fuel Vehicle menggunakan bahan bakar gasohol atau etanol saja.
Tak kalah gencar, di Thailand kini ada 800 stasiun pengisian BBM yang menyediakan pencampuran biodiesel dan bioetanol. Pemerintah Thailand menargetkan sampai akhir 2006 mampu mencapai kapasitas produksi 1 miliar liter per tahun.
Jika pemerintah mengeluarkan kebijakan berkaitan dengan energi alternatif, tentu masyarakat akan menanggapinya secara positif, apalagi bila harganya murah dan terjangkau. Selain itu kalangan pengusaha pun tentu akan melihat hal itu sebagai ceruk pasar yang potensial.
Artinya, industri biodiesel dan biofuel bisa menjadi tumpuan industri dalam negeri. Alasannya, Indonesia menguasai bahan baku biodiesel yakni crude palm oil (CPO) sebesar 11 juta ton. Potensi itu menjadikan Indonesia sebagai power house pengembangan energi alternatif.
Lahirnya Inpres No 1/2006 tentang Penyediaan dan Pemanfaatan Bahan Bakar Nabati sebagai Bahan Bakar, bisa menjadi peluang bagi para investor. Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) menargetkan investasi senilai 1 miliar dolar Amerika di industri terkait pada tahun 2007. Target investasi sebesar 1 miliar dolar Amerika, baru proyeksi nilai pengembangan energi alternatif dalam jangka pendek.
Ke depannya, pemerintah akan membuka kesempatan yang lebih besar untuk investasi di sektor hulu. Sejak 2004 hingga semester pertama tahun ini, investasi biodiesel di Indonesia mencapai nilai 600 juta dolar Amerika.
Untuk mendorong investasi di sektor itu, pemerintah harus memberikan insentif yang menarik. Jika investasi di sektor energi alternatif berkembang baik, maka dapat mendorong ketersediaan energi di pasaran. Sehingga masyarakat tidak khawatir akan terjadi kelangkaan. Hal itu mendorong masyarakat untuk beralih dari energi fosial kepada energi alternatif. Persoalan lain adalah harga energi alternatif harus kompetitif. Sekarang ini, harga minyak mencapai titik tertinggi. Lantas harga minyak pada posisi berapa sehingga harga energi alternatif bisa kompetitif?
Bagaimana jika harga minyak mencapai titik yang rendah? Misalnya, harga minyak mencapai posisi 24 dolar per barel sebagaimana tahun-tahun sebelumnya, akankah harga dan investasi energi alternatif menjadi efisien?
Tantangan itu jelas harus dipecahkan secara komprehensif, agar program pemerintah tidak lagi berjalan secara parsial. (telah dimuat di suara karya, 11/05/07, IC)
Thursday, October 30, 2008
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment